Kamis, 30 Juli 2009

B. AGAMA DI BALI

Majalah Hindu RADTIYA edisi Maret 2007 ini menulis laporan utamanya dengan judul “Hindu versus Hindu Bali”. Majalah ini menggambarkan kondisi perpecahan dalam tubuh agama Hindu Bali yang akhirnya berujung pada pemunculan agama baru bernama “Hindu Bali” yang berbeda dengan agama Hindu. Pemimpin Redaksi Majalah ini, Putu Setia, menulis kolom editorial berjudul “Kenapa Saya Tetap Hindu (dan bukan Hindu Bali).”

Agama baru yang bernama Hindu Bali itu kini sudah resmi diayomi oleh Parisada Dharma Hindu Bali (PDHB), yang resmi dikibarkan pada 28 Januari 2007. Secara nasional, agama Hindu bernaung di bawah Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI). Tetapi, sudah sejak tahun 2001, terjadi dualisme dalam kepengurusan PHDI Bali, yaitu PHDI versi Besakih dan PHDI versi Campuan. Perpecahan di kalangan tokoh agama Hindu di Bali ini telah menimbulkan kebingungan dan kemarahan di kalangan umat Hindu sendiri, seperti diutarakan oleh Jero Mangku Oka Swadiana dalam surat pembaca di Majalah ini. Dia menulis: “Dualisme inilah yang membuat kebingungan umat Hindu di Bali yang menandakan kekerdilan cara berpikir tokoh-tokoh agama Hindu yang hanya berani bertengkar secara intern di kalangan umat Hindu sendiri.” ........

A. Tari Kecak Dikenal Sebagai Tarian Monyet

Tarian kecak ini juga terkenal dengan nama Monkey Dance atau Tarian Kera alias monyet, karena suara cak cak kecak cak dianggap sebagai pekikan pasukan kera Rama melawan Bala Alengka.

Padahal menurut Wayan Limbak, seorang penari legendaris yang turut melahirkan tari Cak pada awal tahun 1930-an dan beberapa sumber lain, tarian Cak yang disebut Monkey Dance tidak ada hubungannya dengan monyet atau Bocoh.
Meski pertarungan itu memang antara pasukan kera Rama, atau pertarungan antara Subali Sugriwa, namun tarian kecak itu asalnya tarian sacral, bukan monkey dance, tarian kera atau monyet alias bocoh.

Tari Cak yang terlanjur salah diartikan sebagai tarian kera atau “monkey dance” kini masih berbunyi “Cak-cak Kecak Cak”. Tari Cak sudah menjadi bagian dari seni tari Bali, serta seni pertunjukan Bali, yang dasar perkembangannya berasal dari tarian Suci penolakan Bala Sengsara

C. BALI PEWARIS BUDAYA NUSANTARA

Apa yang saat ini dianggap dan dipahami sebagai nilai-nilai Keagamaan
Hindu di Bali, atau Hindu Dharma Bali, sesungguhnya adalah nilai-nilai
Kebudayaan Nusantara. Dalam hal ini, saya mesti mempertegas: Nilai-Nilai
Keagamaan, the Religious Values. Jadi, yang saya maksud bukanlah Akidah
dan Upacara Agama.

Apakah Nilai-Nilai Keagamaan atau Kebudayaan itu?
Sekarang, di Bali kita mengenal istilah Tri Hita Karana. Barangkali
istilah ini belum lama menjadi populer. Namun, adalah praktik Tri Hita
Karana itu yang sudah menjadi populer sejak zaman dahulu. Dan, bukan
saja di Bali - tetapi di seluruh kepulauan Nusantara, atau yang
sebelumnya juga disebut Dvipantara - Kepulauan diantara Anak Benua Jambu
Dvipa yang sekarang disebut India, dan Astraalaya yang sekarang disebut
Australia.

Peradaban kita adalah satu-satunya peradaban di seluruh dunia yang sejak
dahulu hingga sekarang masih tetap berkesinambungan. Peradaban ini tidak
pernah mati. Peradaban ini disebut Peradaban Sindhu atau Indus Valley
Civilization. Pengaruhnya dari Aryan atau apa yang sekarang disebut Iran
hingga Astraalaya, Australia.

Saya tidak mengatakan bahwa peradaban kita adalah yang tertua. Tidak.
Karena, Peradaban Mesir dan Cina pun sama tuanya. Tetapi, peradaban
tersebut tidak berkesinambungan. Peradaban Mesir Kuno tinggal sejarah.
Peradaban Kuno Cina diobrak-abrik oleh Mao Tse Tung dan rejim komunis.
Hingga saat ini pun, para pelaku budaya dan praktisi ajaran kuno seperti
kelompok Falun Gong dan lain-lain dilarang, malah ditahan dan disiksa.

Peradaban kita bukanlah peradaban tertua, tetapi satu-satunya peradaban
tua yang masih eksis, masih berdenyut - masih berkesinambungan,,,,,,

Peradaban ini oleh Pelancong dari Cina disebut Shintu. Para pedagang
dari Timur Tengah menyebutnya Hindu. Para sudagar dari Barat menyebutnya
Indus, Indies, Indische, India - kemudian menjadi Hindia, India, Indo.

Adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian menjelma menjadi
Budaya Perekat bagi seluruh wilayah ini jauh lebih tua dari pada agama
mana pun di dunia. Agama-agama lahir atau setidaknya selalu bersentuhan
dengan Budaya Luhur ini. Budaya Luhur inilah Peradaban Sindhu, dan
inilah Budaya Nusantara.

Sebelum India meraih kemerdekaan dari Inggeris, istilah India itu masih
dipakai secara umum bagi seluruh wilayah Peradaban Sindhu. Maka, kita
mengenal istilah-istilah British East Indies, Dutch Indies, West Indies
dan lain sebagainya.

Sesungguhnya, peradaban kita tidak terbatas oleh batas-batas wilayah
negara. Pun, kita tidak pernah mengimpor peradaban asing atau budaya
asing atau kebiasaan-kebiasaan asing, sebagaimana terjadi dalam kurun
waktu 5-6 abad terakhir. Apa yang sekarang disebut Agama Hindu pun tidak
pernah diimpor dari wilayah yang saat ini disebut India. Kita memang
memiliki budaya yang sama, karena berada dalam wilayah peradaban yang
sama. Dan, peradaban inilah yang mengajar kita untuk
ber-trihitakarana.....

Tri berarti Tiga. Hita berarti Kebaikan. Dan Karana berarti Sebab. Tri
Hita Karana dalah Tiga Sebab yang Berakibat Baik.

Dasar dari Tri Hita Karana adalah Hukum Sebab-Akibat atau Hukum Karma,
oleh ilmuwan modern disebut Hukum Aksi-Reaksi.

Tri Hita Karana mengajak kita untuk "Berbuat Baik" supaya memperoleh
Hasil atau Akibat yang Baik.

Apa pula tiga kebaikan yang mesti diupayakan oleh setiap manusia?
Pertama: Menjaga Hubungan dengan Tuhan yang tidaklah bersemayam di
lapisan langit ke berapa, tetapi bersemayam di dalam hati manusia
sendiri.

Maka, dengan sendirinya, perbuatan baik Kedua yang mesti diupayakan
adalah: Menjaga Hubungan dengan Sesama. Saya mesti menjalin hubungan
baik dengan kamu, bukan karena kamu seumat, seiman atau se-apa, tetapi
karena Tuhan juga bersemayam di dalam dirimu.

Maka, ketika kita menyalami orang lain, kepala ditundukkan sedikit dan
kedua tangan dirangkap: Aku Menyembah Dia yang Bersemayam di dalam
Dirimu. Kita memiliki kebiasaan sungkam kepada orang tua, kepada para
guru, kepada siapa saja yang dipertuakan karena ilmu atau kedudukannya.
Ini adalah wujud nyata dari Praktik Karana Kedua dari Tri Hita Karana.

Kemudian, Ketiga adalah Menjaga Hubungan dengan Alam, dengan Lingkungan,
dengan Sesama makhluk walau wujud mereka beda - Hubungan dengan Semesta!

Maka, tidak heran bila kita yang tinggal di kepulauan ini menghormati
pepohonan, menghormati bukit dan gunung, menghormati kawah dan lembah,
menghormati sungai dan laut, bahkan bebatuan pun kita hormati. Perkara
ini tentu tidak dipahami oleh mereka yang datang dari peradaban yang
beda.

Sayangnya, saat ini kita sebagai bangsa sudah terlalu banyak terpengaruh
oleh peradaban-peradaban lain, oleh budaya-budaya lain. Bahkan, dengan
menggunakan referensi budaya dan peradaban lain, kita menganggap sesat
seluruh kebiasaan atau adat istiadat luhur yang sesungguhnya telah
membudaya dalam masyarakat kita.

Sebagai contoh, Kebudayaan Kaharingan dari Kalimantan dianggap sesaat.
Baduy di Banten pun sebentar lagi bisa dinyatakan sesat. Kemudian, Sunda
Wiwitan dan Kejawen tinggal tunggu waktu saja. Bisu di Sulawesi sudah
dinyatakan sesat sejak puluhan tahun yang silam.

Coba bandingkan budaya-budaya yang dinyatakan sesat dan tidak sesuai
dengan apa yang kita anggap sebagai agama - dengan Budaya Bali.......

Bila Kaharingan dianggap sesaat, maka Budaya Bali jelas bisa dianggap
sesat pula. Sesungguhnya, walau belum ada pernyataan resmi tentang
betapa lebih sesatnya Bali dari Kaharingan dan Wiwitan dan Kejawen dan
Bisu - Kebudayaan Bali sudah menerima ancaman-ancaman dan
serangan-serangan serius yang mesti direspons, tentunya dengan cara yang
beradab, cara yang sesuai dengan budaya kita.

KELAS IX E

DI SUSUN OLEH :

TATA KUSWAYA

REKSA RAHMAN

RIDWAN M

AAM AMINUDIN

IRFAN

ANDRI

WAYAN

DEDI

ENCEP

SMP NEGERI 1 CIAWI TASIKMALAYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar